Latest News

Ibu bikin Aku serba salah.

Senin, 27 Desember 2010 , Posted by pentas pekanbaru at 23.24

Posted on by serbasalah
Serba salah ini menggiring saya kembali pada masa SMA, beberapa tahun lalu. Semasa ujian akhir semakin dekat dan terasa begitu mengerikan. Hingga saya mendadak rajin dan termotivasi untuk belajar. Tsayat tidak lulus, tsayat nilai saya tak mencukupi, tsayat orangtua saya kecewa.
Program mendadak rajin ini saya mulai ketika kata-kata ‘Ujian Nasional’ tiap sebentar saya dengar. Rasanya lagu ujian nasional ini tak henti-hentinya diputar dalam otak saya. Program mendadak rajin ini saya kelompokkan. Belajar di sekolah, lalu ikut bimbingan belajar, dan melanjutkan belajar lagi di rumah. Memang, hari-hari saya diisi dengan belajar, belajar, dan belajar. Paginya sekolah, sepulang sekolah ke bimbel, lalu tiba di rumah belajar lagi.
Ketika malam tiba, saya jadi serba salah. Sudah menjadi kebiasaan bagi saya dan Ibu saya setiap malam. Ketika saya duduk manis di meja belajar, Ibu saya mengajak saya mengobrol sembari tidur-tiduran. Dari pukul tujuh malam, dari mulai saya mengembangkan buku. Ibu saya mengobrol non-stop hingga pukul sepuluh malam, hingga saya menutup buku selesai belajar dan pergi tidur.
Otak saya jadi berpikir ekstra. Banyak sekali stimulus yang datang. Mengerjakan soal matematika, membaca buku, dan mendengarkan cerita Ibu. Kalau tak saya dengarkan cerita Ibu, saya jadi salah sama Ibu. Jadi anak yang tak berbakti pula saya jadinya. Tak mendengarkan kata orangtua. Kalau saya dengarkan cerita Ibu, saya tak konsentrasi belajar. Padahal Ibu tahu bahwa saya tak bisa belajar dalam kebisingan.
Saya kagum dengan Ibu, kagum dengan keahliannya bercerita. Bayangkan saja, dua hingga tiga jam dalam sehari selama hampir enam bulan. Ceritanya berbeda-beda pula setiap harinya. Topiknya pun bermacam. Mulai dari cerita tante saya yang ketika itu belum juga menikah, hingga pekerjaannya di kantor. Urusan naik pangkat orang yang tersendat-sendat, urusan pensiun, mahasiswa magang di kantornya, dan bla bla bla. Oya, kebetulan Ibuku bekerja di bagian urusan kepegawaian di salah satu instansi pemerintahan. Biasanya, kalau Ibu menceritakan hal ini, saya pura-pura mendengar saja. Dengan gaya mendengar, padahal pusing dengan soal matematika. Jadi, lewatkan. Tetap belajar dan tak lupa untuk pura-pura mendengarkan. Terkadang, Ibu juga bercerita tentang masa depanku dan cita-cita saya. Nah, kalau yang ini, isi obrolannya selalu sama dari hari ke hari. Tapi entah kenapa, saya senang mendengarnya. Kutaruh pensil, kugeser buku sedikit, konsentrasi mendengar cerita Ibu. Sembari mendengar cerita Ibu, saya mengkhayalkan masa depan yang indah sekali menurut cerita Ibu. Hehe. Satu topic yang tak ingin kudengar. Ketakutan Ibu akan ketidaklulusanku. Cerita ini membuat lubang takutku semakin lebar dan dalam. Ketika Ibu bercerita tentang rasa takutnya, saya memilih buku bacaan, tak lagi dengan soal matematika. Kurasa, buku bacaan akan membuatku lumat dengan isinya. Hingga saya tak mendengar lagi cerita Ibu itu.
Begitulah rutinitasku setiap hari selama hampir enam bulan. Obrolanku bersama Ibu setiap malam itu tampaknya tak berpengaruh besar. Akhirnya, saya lulus ujian nasional dan kini sudah berkuliah. Kampusku kini berbeda kota, membuatku jauh dari Ibu. Kini, saya rindu dengan obrolan Ibu setiap malam. Bu, tolong ceritakan lagi tentang masa depanku yang indah itu. (Kiriman Maghriza Novita Syahti, Psikologi UNP Bukittinggi)

Currently have 0 komentar:

Leave a Reply

Posting Komentar